Dengan demikian, jika dirunut dari jalur ayah, maka KH Hasan Abdul Wafi adalah sepupu KHR As’ad Syamsul Arifin (1897-1990). Namun, dari jalur ibu, Kiai Hasan Abdul Wafi adalah keponakan Kiai As’ad, karena ibunda Kiai Hasan (Nyai Lathifah) adalah putri dari Kiai Jamaluddin Ruham yang notabene kakak kandung KR Syamsul Arifin. Dia mendeklarasikan diri maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) di Hotel Majapahit, Surabaya, Sabtu, 2 September 2023. Cak Imin mengaku mendapat mandat mendampingi Anies dari ulama terkemuka di Jawa Timur yang juga putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Kholil As’ad Syamsul Arifin. Mandat itu disampaikan pada 2021, dua tahun lalu. Pada akhir tahun 1924, Syaikhona Kholil yang mengetahui Kiai Hasyim Asy`ari tengah gundah gulana kemudian mengutus murid-nya As`ad Syamsul Arifin untuk mengantarkan tongkat disertai titipan ayat Al-Qur’an, Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan tentang mukjizat Nabi Musa AS, untuk diberikan kepada Kiai Hasyim. Ayat tersebut berbunyi: KH. R As'ad Syamsul Arifin adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang juga merupakan ulama Tokoh NU, Beliau juga salah satu Murid dari KH. Khalil Ban KHHasyim Asy'ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. kkFSQd. KHR As’ad Syamsul Arifin 1897-1990 M. adalah putra pertama dari pasangan KHR Syamsul Arifin 1841–1951 M. dan Nyai Hj Siti Maimunah. Tak ada naskah memadai yang menjelaskan sosok Nyai Maimunah ini. KHR Syamsul Arifin sendiri lahir dari pasangan Kiai Ruham dan Nyai Nur Sari. Jika nasab Kiai Ruham bersambung hingga ke Sunan Ampel, maka Nyai Nur Sari disebut dalam sejumlah buku sebagai keturunan Raja Sumenep ke-29, Bendoro Saud, yang memerintah dari tahun 1750 M. hingga 1762 M. Kiai As’ad lahir di Mekah ketika Kiai Syamsul Arifin studi di sana. Dan Kiai Syamsul Arifin telah menghabiskan 40 tahun dari 110 tahun usianya di Mekah. Di Mekah, Kiai Syamsul Arifin berguru kepada banyak ulama besar seperti Syaikh Nawawi Banten 1813-1897 M yang 24 karyanya banyak dibaca di pesantren-pesatren Jawa dan Madura. Kiai Syamsul Arifin juga sempat belajar pada Sayyid Abi Bakar ibn Muhammad Syatha al-Dimyathi 1849-1892 M/1226-1310 H pengarang kitab I’anah al-Thalibin dan Kifayah al-Atqiya’, dua kitab yang juga banyak dikaji di pesantren. Sayang sekali Sayyid Abi Bakar Syatha tak memiliki umur pajang. Beliau wafat dalam usia 43 tahun. Namun, sebelum wafat, Sayyid Abi Bakar Syatha masih sempat berguru pada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan 1816-1886 M, pengarang kitab yang sangat masyhur di Nusantara, syarah al-Ajurumiyah. Tak hanya Sayyid Abi Bakar, rupanya Syaikh Nawawi Banten dan Kiai Mahfudh Termas 1868-1920 M juga berguru kepada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Tak tertutup kemungkinan Kiai Syamsul Arifin yang saat itu juga sedang studi di Mekah sempat berguru pada Syakh Ahmad Zaini Dahlan. Setelah puluhan tahun berada di Mekah, Kiai Syamsul Arifin bersama keluarganya termasuk Kiai As’ad yang masih kecil pulang ke tanah air, Nusantara. Ketika Kiai Syamsul Arifin mengembangkan Pesantren Sukorejo yang dirintisnya sejak tahun 1914 dan setelah Kiai As’ad muda malang melintang dari satu pesantren ke pesantren lain, maka Kiai As’ad yang sudah memasuki usia remaja itu dikirim kembali ke Mekah. Di sana Kiai As’ad belajar pada banyak ulama kelas dunia. Pertama, Kiai As’ad belajar pada Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz al-Maliki 1868-1934 M/ 1285-1934 H yang juga berguru pada al-Sayyid Bakri ibn Muhammad Syatha. Nanti anak keturunan Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz ini menjadi guru banyak ulama nusantara. Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz punya anak bernama Sayyid Alawi ibn Abbas al-Maliki 1910-1971 M/1328-1391 H, berputra Sayyid Muhammad ibn Alawi ibn Abbas 1948-2004 M/1367-1425 dan Sayyid Abbas ibn Alawi al-Maliki 1948-2015 M/1367-1436 H. Sebelum wafat tahun 2004, KHR Achmad Azaim Ibrahimy, Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo periode 2012-sekarang, sempat berguru pada Sayyid Muhammad ibn Alawi. Kedua, Kiai As’ad berguru pada Sayyid Hasan ibn Sa’id 1894-1971 M/1312-1391 H. Ayah beliau, Sayyid Sa’id ibn Muhammad ibn Ahmad Yamani, adalah guru Kiai Syamsul Arifin. Sayyid Hasan ini pengajar tetap di Masjidil Haram dan pernah mengajar di Madrasah Shaulatiyah tahun 1904 M/1322 H–1907 M/1325 H. Murid-muridnya datang dari berbagai negara, mulai dari Mekah hingga Malaysia dan Indonesia. Bahkan, Sayyid Hasan ibn Sa’id pernah berkunjung ke Indonesia sebanyak dua kali. a Tahun 1925 M/1344 H dan kembali ke Mekah tahun 1926 M/1345 H. b Tahun 1930 M/1349 H dan kembali ke Mekah 1937 M/1356 H. Bahkan, beliau tercatat pernah menjadi mufti di Terengganu Malaysia ketika beliau beberapa tahun menetap di sana dan wafat di Mekah tahun 1391 H/1971 M. Dikuburkan Ma’la Mu’alla? Mekah. Ketiga, Kiai As’ad juga berguru pada Sayyid Muhammad Amin ibn Muhammad Amin al-Kutby 1909-1984 M/1327-1404 H. Nama lengkapnya, al-Sayyid Muhammad Amin ibn Muhammad Amin ibn Muhammad Shalih ibn Muhammad Husain al-Kutby al-Hasani al-Hanafi. Beliau adalah ulama bermadzhab Hanafi yang mengajar secara reguler di Masjidil Haram, Madrasah al-Falah, Ma’had I’dad al-Mu’allimin. Ia menulis sejumlah buku. Salah satu karya Sayyid Muhammad Amin Kutbi yang saya koleksi adalah Nafhu al-Thiib fi Nafhi al-Habib SAW, buku yang berisi pujian dan kekaguman penulisnya pada Nabi SAW. Ditulis dalam bentuk puisi dengan diksi yang indah. Keempat, Kiai As’ad juga berguru pada Syaikh Hasan ibn Muhammad ibn Abbas ibn Ali ibn Abdul Wahid ibn al-Abbas al-Munafi al-Masysyath 1899-1979 M/1317-1399 H. Ia adalah ulama berpengaruh al-ustadz al-mu’atstsir di masanya. Dikenal sebagai al-muhaddits ahli hadits al-faqih ahli fikih al-Maliki bermadzhab Maliki. Ia menulis 17 kitab di berbagai bidang. Ia misalnya menulis al-Tuhfah al-Saniyah fi Ahwal al-Waratsah al-Arba’iniyyah, Ta’liqat Syarifah ala Lubbi al-Ushul, Inarah al-Duja fi Maghazi Khairi al-Wara, Bughyah al-Mustarsyidin bi Tarjamah al-A’immah al-Mujtahidin. Ia memiliki banyak murid dari berbagai negara, mulai dari Yaman hingga Indonesia. Salah satu murid Syaikh Hasan Masysyath yang dari Yaman adalah Syaikh Ismail Zain 1933-1994 M/1352-1414 H yang kemudian menjadi guru dari salah seorang putra Kiai As’ad Syamsul Arifin, yaitu KH R. Mohammad Kholil As’ad 1970-sekarang-Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Walisongo Situbondo, Jawa Timur. Dua guru Kiai As’ad yang terakhir itu, Sayyid Muhammad Amin dan Syaikh Hasan Musyath, dari segi usia memang lebih muda dari Kiai As’ad. Namun, sebagaimana kiai lain, dalam mencari ilmu Kiai As’ad tak memandang usia. Tak masalah berguru pada yang lebih muda karena kealiman memang tak terkait dengan usia. Kiai Syamsul Arifin juga berguru pada Sayyid Abi Bakar Syatha yang usianya terpaut 8 tahun lebih muda dari dirinya. Dengan narasi ini, sungguh beruntung sekali para pelajar Islam yang studi di Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Asembagus Situbondo karena sanad ilmu mereka melalui KHR Syamsul Arifin dan KHR As’ad Syamsul Arifin adalah sanad yang tinggi, lewat jalur ulama-ulama besar terhubung hingga ke Rasulullah SAW. Semoga berkah dan manfaat. KH Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua LBM PBNU dan Alumnus Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo As’ad Syamsul Arifin dianugerahi gelar pahlawan nasional berdasar Keputusan Presiden Kepres RI Nomor 90/TK/Tahun 2016 pada 3 November 2016. Butuh puluhan tahun perjuangan untuk menyematkan pahlawan nasional untuk sang Kiai As’ad. Usulan gelar pahlawan Kiai As’ad dilakukan sejak 2014 lalu. Jauh sebelumnya, usulan pengajuan gelar pahlawan Kiai As’ad pernah dilontarkan KH Ahmad Siddiq, Rais Am PBNU pada hari kedua setelah Kiai As’ad wafat pada 1990. Tahukah siapa sosok KH R As’ad Syamsul Arifin? Putra pendiri Ponpes Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo ini merupakan cicit dari pendiri Pondok Pesantren Kembang Kuning yang berlokasi di Desa Lancar, Kecamatan Larangan, Pamekasan, Madura, Jatim. Kiai Mahalli Nung Tenggi merupakan kakek buyut Kiai As’ad yang mendirikan Ponpes Kembang Kuning di Tahun, 1619 M. Kakek Kiai As’ad adalah Kiai Ruham. Neneknya bernama Nyai Nur Sari Khotijah. Sedang ayahnya adalah Ibrahim yang populer dengan nama KH R Syamsul Arifin, pendiri Ponpes Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo. Kiai As’ad lahir di perkampungan Syi’ib Ali, dekat Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, pada 1897. Beliau wafat di usia ke-93 pada 4 Agustus 1990 di Situbondo, Jawa Timur. Jabatan terakhir di PBNU adalah Dewan Penasihat Musytasar Pengurus Besar NU. Kiai As’ad tercatat sebagai keturunan bangsawan Sumenep. Ibu Kiai As’ad Nyai Nur Sari adalah keturunan Bindara Saud, putra Kiai Abdullah, Batuampar, Guluk-Guluk, Sumenep. Bindara Saud menjadi Raja Sumenep yang ke 29 setelah menikah dengan putri Raja Sumenep yang bernama Raden Ayu Tirtonegoro. Dari perkawinan itu, Bindara Saud mendapat gelar Tumenggung Tirtonegoro. Bindara Saud memimpin Sumenep sejak tahun 1750 – 1762 M. Ibu Kiai As’ad bernama Maimunah binti KH Muhammad Yasin, keluarga dekat Kiai Kholil, Bangkalan. Pada tahun 1890 M hari dan bulan beserta tanggalnya tidak ditemukan, KH R Syamsul Arifin menikah dengan Maimunah di Makkah. Dari perkawinan tersebut, lahir dua anak laki-laki. Kiai As’ad dan Kiai Abdurrohman. Ketika Kiai As’ad berumur 6 Tahun, secara mengejutkan Kiai Syamsul mengajak istri dan Kiai As’ad untuk pulang ke kampung halaman di Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan. Sedangkan, Kiai Abdurrahman-adik Kiai As’ad- yang kala itu, masih berumur 4 tahun- dititipkan kepada Nyai Salkah, saudara sepupu Nyai Maimunah, yang mukim di Makkah. Kiai Syamsul terbilang lama mengembara. Sejak usia 12 tahun, Kiai Syamsul sudah mengembara dari pesantren ke pesantren. Pondok pesantren kali pertama dituju adalah Ponpes Sidogiri, Pasuruan. Dipondok pesantren Sidogiri inilah Kiai Syamsul menimpa ilmu hingga mengabdi sebagai ustadz. Sekian tahun di Sidogiri, Kiai Syamsul pindah ke Ponpes Langitan, Tuban. Setelah itu di Pesantren Bangkalan dibawah asuhan langsung Syechona Kholil. Kemudian mondok ke Mekkah bersama putra mahkota Pondok Sidogiri, Kiai Nawawi. Tidak ada keterangan rinci tentang keberangkatan ke Makkah. Kecuali penegasan bahwa Kiai Syamsul mukim di Mekkah selama 40 tahun. Di Makkah, Kiai Syamsul bertemu Nyai Maimunah binti Kia Haji Muhammad Yasin, perempuan asal Bangkalan. Pertemuan disaat musim haji itu, tahun 1890 M, Kiai Syamsul menikah dengan Nyai Maimunah di Makkah. Di kembang kuning, Kiai Syamsul ikut membantu Kiai Ruham ngajar di Pondok Kembang Kuning. Beberapa tahun berikutnya, Nyai Maimunah wafat. Ibu Kiai As’ad ini, dimakamkan di belakang Masjid Jami’ Tallang, sekitar 300M sebelah timur Pondok Kembang Kuning. Kiai Syamsul kemudian menikah kembali dengan Nyai Siti Saidah, janda dari Kiai Syarkowi— pendiri Pondok Pesantren, Guluk-Guluk, Sumenep. Sekitar lima tahun di Kembang Kuning, Kiai Syamsul teringat pesan gurunya saat di Makkah. Salah satu pesan gurunya adalah agar ikut mendirikan pondok pesantren untuk mengembangk an Islam. Kiai Syamsul meminta restu kepada ayahandanya kiai Ruham untuk merantau ke pulau Jawa. Permohonan Kiai Syamsul dikabulkan. Bersama sang isteri, Nyai Siti Saidah menyebarangi laut menuju Pulau Jawa melalui pelabuhan Talang Siring, Pamekasan. Perahu yang membawa Kiai Syamsul dan keluarga akhirnya sandar di Pelabuhan, Panarukan, Situbondo . Dari Pelabuhan Panarukan, Kiai Syamsul mengembara ke arah timur hingga menetap di sebuah pesantren di Desa Sambi Rampak, Situbondo. Di pesantren asuhan Kiai Sambi ini, Kiai Syamsul bermukim agak lama sambil mengajar agama. Di tempat itu, Kiai Syamsul bertemu dengan Habib Asadullah. Kiai Syamsul dinasihati Habib Asadullah agar kembali lagi ke Makkah. Nasihat habib dituruti. Beberapa tahun di Makkah, Kiai Syamsul kembali pulang ke Kembang Kuning, Pamekasan. Beberapa waktu di kembang kuning, Kiai Syamsul kembali menyebrang ke Situbondo bersama Nyai Saidah dan Kiai As’ad. Tiba di Situbondo, Kiai Syamsul sowan ke pengasuh Ponpes Sambi Rampak. Kiai Syamsul juga sowan ke Kiai Nahrawi. Di rumah Kiai Nahrawi, Kiai Syamsul kembali bertemu dengan Habib Asadullah. Dari pertemuan itu, Kiai Syamsul diarahkan lokasi Suko Beloso, belakangan dikenal dengan Sukorejo untuk berdakwah dalam menegakkan agama Islam. Di tempat itu, Kiai Syamsul harus membabat hutan sebelum mendirikan gubuk dan mushalla. Tanah Sukorejo, Asembagus saat itu masih berupa hutan belantara yang terkenal anker dan dihuni oleh banyak binatang buas serta makhluk halus. Dari tanah Sukorejo, Asembagus, Situbondo, nama KH R As’ad Syamsul Arifin berkibar seantero nusantara dan dunia.

putra putri kh as ad syamsul arifin